Kamis, 02 Maret 2017

Sebuah Percakapan dari Masa Lampau





“Dulu kamu kenapa meninggalkanku?”

Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Bukannya apa-apa. Aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa diam?” Ia kembali bertanya. “Bagaimana kamu bisa tenang mencintai orang lain sedang kamu tidak punya alasan untuk meninggalkanku.”

“Aku tidak meninggalkanmu.”

Dia mengernyitkan dahi pertanda tidak mengerti.
“Maksudmu?”

“Aku tidak pernah benar-benar meninggalkanmu.” Aku tidak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Kalimat yang berhasil membuatnya menatap mataku dalam-dalam.

“Lalu selama ini apa yang kamu lakukan padaku kalau namanya bukan meninggalkan?”

Aku tidak tahu sedalam apa lukanya atas ulahku. Sehingga aku merasa disudutkan oleh pertanyaan-pertanyaannya. Sedangkan di sisi lain, ternyata, aku menyadarinya. Aku menyadari kalau aku telah menyakiti seseorang yang bahkan sampai saat ini tidak pernah bisa kulupakan.

Aku diam. Kemudian mengambil sebatang rokok dari saku celanaku dan menyulutkannya, alih-alih menenangkan. Ia berpaling ke arah lain dengan tatapan kosong. Kopi yang baru kupesan tadi mulai dingin.

“Siapa pacarmu sekarang?”
Aku tersedak kopiku.

“Aku tidak percaya setelah meninggalkanku kamu masih sendirian.”

“Ya, aku masih sendirian dan tidak pernah meninggalkanmu.” Aku coba untuk meyakinkan kalau aku tidak pernah benar-benar meninggalkannya.

Mendadak hujan turun tergesa-gesa, deras.

“Bohong!”
Ingin sekali rasanya kukatakan kalau aku tidak berbohong dan masih …..

Tapi aku tidak cukup berani untuk mengatakannya. Aku kelewat merasa bersalah atas itu semua. Sebab kenyataannya …..

“Kamu tidak pernah tahu rasanya pelan-pelan dilupakan.”
Aku tidak pernah melupakanmu!

“Tidak ada kabar. Pesan tidak dibalas. Telepon tidak diangkat.”
Aku diam dan mencoba tidak ingin mendengarkannya. Pertemuan yang kurencanakan dengannya ini harusnya bisa membuatku bahagia.

“Seperti seseorang yang sedang dibunuh dengan pisau tumpul dan ditusukkan ke dalam tubuhnya pelan-pelan.”

Aku tidak tahu kenapa hujan di luar semakin deras saja. Membuatku semakin tidak punya cara lain untuk pergi keluar dan pura-pura mengangkat telepon. Lalu kembali ke dalam dengan membicarakan topik lain yang tentu berbeda.

“Tapi tidak apa-apa. Aku sudah merelakannya.”

Mendengar kalimat itu, mendadak hatiku kecewa. Artinya dia sudah benar-benar bisa melupakanku dan aku tidak punya kesempatan sekali lagi untuk mencintainya.

“Aku akan segera menikah.”

Aku kaget. Diam. Kenapa harus secepat itu? Kamu tidak mau mendengar ucapanku yang jujur kalau aku masih mencintaimu? Atau kamu sudah tidak lagi menginginkan kalimat itu datang dari mulutku? Kuambil rokok sebatang lagi dari sakuku dan menyulutkannya.

“Kamu mencintainya?”

Sebentar saja ia diam sebelum kemudian menjawab, “Dia mencintaiku.”

“Apa yang membuatmu yakin kalau dia mencintaimu?”

“Tidak sekali pun dia menghilang dan meninggalkan kabar untukku.”

Aku kembali dibawa masa lalu dan menyesalinya. Aku tidak tahu, dalam hal ini, adakah masa lalu yang tidak membuat orang menjadi merasa menyesal.

Hujan sudah reda. Waktu sudah hampir tengah malam. Aku ingin segera pulang. Tapi di sisi lain juga, aku masih sangat merindukannya. Aku masih haus mendengar suaranya yang selama ini sudah jarang sekali kudapatkan.

Maafkan aku karena selama ini telah membuatmu menjadi kecewa. Aku menyesal karena telah menghilang tanpa kabar darimu. Aku tidak pernah benar-benar menghilang darimu. Aku selalu menyempatkan untuk mengetahui kabar baikmu melalui apapun yang bisa membuatku mengetahuinya dan bahagia. Dan kabarmu yang akan segera menikah, benar-benar telah membuatku berada di puncak penyesalan itu.

1 komentar:

Perempuan yang Sedang dalam Pelukan (Keraguan)

Kau menulis sebuah cerita sedih dan membagikannya ke lini masa dengan harap orang-orang ikut merayakan apa yang sedang kau rayakan. Tapi ...