Kamis, 27 April 2017

Gorengan, Kopi dan Sebotol Air Mineral






Saya kangen mereka. Sudah merasa lama saya tidak bertemu dengan mereka. Sejak pra-rapat tahunan anggota rayon. Mungkin sekitar dua mingguan saya tidak masuk kelas dan bertemu dengan mereka dan membuat saya merindukannya. Dasar pemalas!

Minggu pertama hari-hari saya disibukkan dengan konsolidasi politik dan membicarakan perkara estapeta kepemimpinan. Minggu kedua, terang saja, sebagai ketua terpilih, saya harus menunjukkan sikap siap sebagai seorang pemimpin dengan mengikuti beberapa kegiatan yang diadakan organisasi yang dalam hal ini adalah rangkaian kegiatan dalam acara hari lahir organisasi.

Saya kangen mereka. Ada satu hal paling intim yang saya rindukan dari kehadiran mereka. Adalah sebuah ritual setelah keluar dari kampus: udunan untuk membeli gorengan, satu-dua cangkir kopi dan satu botol air mineral. Ada kebahagiaan yang sulit sekali bisa saya dapatkan di tempat lain.

Sebenarnya bukan karena itu. Ritual tersebut tidak lebih hanya sebagai sebuah perangkat yang bisa memperkenalkan kami satu sama lain secara tidak langsung. Hubungan kami akan lebih menali begitu erat hanya karena perangkat tadi. Gorengan, kopi dan air mineral yang kami nikmati bersama telah membuat kami bisa tertawa lepas tanpa beban.

Selain daripada itu, saya memahami betul bagaimana nanti masing-masing di antara kami akan menjadi sekelompok manusia yang asing karena suatu hal. Sesuatu yang memang secara struktur dapat memisahkan kami sebagai seorang teman. Jarang bertemu dan mungkin lupa bagaimana cara untuk kembali bercanda. Ada canggung yang akan menyelimuti masing-masing dari kami.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kita satu-dua-atau-sepuluh tahun ke depan. Tidak ada lagi udunan, gorengan, kopi dan sebotol minuman. Dan tentu, tidak akan ada lagi sesuatu yang khas yang saya dapatkan dari mereka. Sesuatu yang hanya mereka miliki. Tidak bisa saya temukan dalam diri siapa pun kecuali mereka.

Emosional sekali. Menulis ini, saya seperti sedang akan berpisah dengan mereka untuk waktu yang lama. Atau mungkin selamanya. Saya sedih karena telah melewatkan dua minggu yang harusnya menyenangkan bersama mereka.

Meski saya kini telah menjadi seseorang yang, anggap saja baru, saya tidak akan pernah menolak kedatangan mereka ke indekos saya. Menghabiskan waktu dengan bermain pes bersama atau hanya sekadar main gadget masing-masing. Tidak apa-apa. Kalian datang saja sudah menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Terakhir, saya adalah manusia biasa yang tidak pernah luput dari lupa dan salah. Saya berharap mereka bisa memaafkan segala kekurangan saya. Kebersamaan kami, mungkin bisa dihitung tinggal beberapa bulan saja. Setelah itu kami akan menjadi manusia asing dan berusaha mencapai tujuan dan cita-cita masing-masing. Saya sangat berharap mereka, semua teman-teman saya, menjadi manusia yang bahagia dengan pencapaiannya.

Saya sangat berterima kasih kepada Tuhan karena takdirNya telah begitu sangat baik kepada saya sehingga saya bisa bertemu dengan mereka. Saya sangat senang bisa kenal dan berteman dengan mereka. Sekali lagi, terima kasih banyak.

Jumat, 21 April 2017

Senioritas: Hal yang Membuat Seseorang Bodoh



“...tapi mereka adalah senior kita,” kata seorang lelaki tanpa nama. “Mereka adalah kebenaran. Kata-kata mereka lebih dari kata-kata yang keluar dari mulut seorang penyair.”

Seseorang yang lain bernama L mengisap selinting ganja hingga pipinya kempot. Lalu mengembuskan asapnya ke udara, “apakah mereka juga lebih kuasa dari doa?”

“Tentu, the seniors is a god, man!”

Burung-burung meninggalkan ranting pohon. Mereka terbang membelah langit. Memotong segumpal awan untuk mencari kembali kata-kata bajingan yang baru mereka dengar dari lelaki tanpa nama tadi.

Sedangkan L telah berhasil menciptakan bentuk lingkaran dari embusan asap ganjanya. “Kau lihat bagaimana asap ini bisa membentuk sebuah lingkaran?”

Ia mengangguk, “lalu?”

“Bagus! Setidaknya kau telah melihat sesuatu yang lebih baik ketimbang dengan sesuatu yang baru saja kudengar.”

Di sebuah jalan di depan halaman rumah mereka, terlihat seorang lelaki berkepala botak menggunakan pakaian kaus oblong berwarna putih dan celana gauko loreng-loreng dan beralas kaki sandal sedang berjalan-jalan menikmati hari yang mulai senja dengan seekor anjing jenis Golden Retriever yang diikat lehernya dengan tali.

“Anjing yang penurut.”

“Anjing jenis Golden Retriever, kan, seekor anjing pemburu yang kadang dipekerjakan sebagai anjing pelacak narkoba.”

“Benar, ia adalah anjing penuntun,” sebentar setelah L mengisap ganjanya. “Sering kali ia adalah imam untuk membantu pihak keamanan dalam menyelesaikan masalah.”

“Hahaha, kau benar juga. Tetapi sekarang anjing itu sedang jadi makmum tuannya, kan?”



L menatap muka lelaki tanpa nama itu sebelum kemudian mengatakan sesuatu yang penting--setidaknya bagiku--yang tidak boleh kamu lewatkan begitu saja, “Apakah kau melihat sesuatu dari peristiwa itu?”

“Maksudmu?”

“Ya, apakah dengan melihat peristiwa seekor anjing yang sedang dituntun tuannya itu kau seperti sedang melihat dirimu sendiri?”

“Kau ini ngomong apa, sih? Pasti ini efek dari ganja itu.”

L menarik napas pendek-pendek, lalu mengeluarkannya bersamaan dengan sebuah kalimat yang keluar dari mulut beraroma ganja, “Sikapmu yang mengagung-agungkan senior tidak lebih baik….”

Tapi sebelum kalimat itu berakhir, telinga yang menempel di sisi kiri dan kanan lelaki tanpa nama itu sudah meleleh seperti es yang terpancar sinar matahari. Dan… mungkin telah memukul gendang telinga kalian juga.

Selasa, 04 April 2017

Catatan Kaki Sebagai Perpustakaan Sekaligus Toko Buku Online






Catatan Kaki memang sedang merangkap mejadi toko buku online. Namun sampai sejauh ini belum ada satu buku pun yang berhasil dijual. Menyedihkan sekali. Karena hal itu, awalnya saya berpikir lebih baik berhenti menjual buku. Tapi saya coba pikir kembali, apa salahnya untuk terus menjual buku. Lagipula saya tidak repot-repot amat dalam mempromosikan buku-buku yang saya atau Catatan Kaki jual. Hanya tinggal memostingnya di media sosial dan setelah itu menunggu sampai ada manusia khilaf yang mau membeli di toko saya. Hanya itu.

Namanya juga baru lahir, tidak mungkinlah Catatan Kaki akan menandingi toko-toko buku online yang sudah memiliki nama besar semacam Dema Buku, Buku Akik dan Berdikari yang kemarin diwawancara itu. Mungkin kalau akan sebesar mereka Catatan Kaki bisa. Asal bersabar dan tetap bahagia.

Awal mula lahirnya Catatan Kaki adalah karena iseng. Waktu itu bulan Ramadan. Saya mendapatkan libur panjang dan pulang ke kampung. Menunaikan ibadah puasa di rumah. Melihat geliat kawula muda di kampung yang menghabiskan waktu sorenya dengan main motor ugal-ugalan atau pergi ke sebuah tempat yang minim manfaat, akhirnya saya memutuskan untuk membuka lapakan baca buku gratis di halaman masjid di kampung. Karena bulan Ramadan, maka kami namai kegiatan kami #Ngabuburead.

Kegiatan kami tentu mendapatkan banyak apresiasi. Meski apresiasi itu hanya sebagai bentuk dukungan saja, tidak ada keterlibatan di dalamnya. Bahkan untuk mendatangi lapakan kami saja sepertinya enggan. Atau mungkin, husnudzon saja, tidak memiliki waktu. Sehingga hanya anak-anak kecil yang baru pulang mengaji yang mengunjungi lapakan kami.

Lapak baca buku gratis di kampung hanya bertahan sampai setengah bulan Ramadan. Kami masuk dan pindah ke kota. Berharap mendapatkan banyak pengunjung meski pada akhirnya sama saja. Tidak ada sama sekali. Berbeda dengan ketika membuka lapak di kampung yang masih didatangi pengunjung meski hanya anak-anak, selama di kota kami sama sekali tidak pernah mendapatkan pengunjung. Yang ada malah dari petugas patroli yang mengusir kami sambil mengisap sebatang rokok. Hajinguk!

Hasilnya kami hanya bertahan selama satu Minggu saja. Kami menyerah. Saya berpikir betapa kami hanyalah setitik kotoran di dunia. Tidak lebih penting dari kemacetan dan ketergesa-gesaan.

Tetapi ternyata saya adalah manusia yang ambisius. Saya tidak pernah benar-benar menyerah. Saya buktikan hal itu dengan melanjutkan membuka lapak baca buku gratis. Bahkan keinginan saya untuk membuka lapak baca buku gratis semakin ‘bergerilya’. Saya tidak hanya membuka lapakan dengan Catatan Kaki tetapi juga dengan beberapa perpustakaan jalanan lain seperti Pustakaki Purwakarta dan Perpustakaan Jalanan Karawang. Sebab saya ingin membuat manusia sadar kalau ternyata buku telah menyelamatkan--setidaknya begitu bagi saya--hidup saya dari ancaman kehidupan yang kejam. Sangat kejam.

Tidak perlulah saya membahas Pustakaki Purwakarta dan Perpustakaan Jalanan Karawang. Tulisan ini hanya untuk Catatan Kaki.

Sesuatu yang baru lahir akan menjadi asing. Begitulah sekiranya penilaian saya mengenai Catatan Kaki yang mulai merangkap menjadi toko buku online. Dan untuk menjadi besar sebagai sebuah toko, maka yang dilakukan adalah tidak berhenti berjuang. Saya percaya buku akan menyelamatkan hidup saya. Dan hal itu benar-benar telah saya rasakan.

Menjual buku, bagi saya, persis seperti saya membuka lapak baca buku. Bedanya menjual tidak gratis. Orang-orang perlu mengeluarkan sedikit uang untuk mendapatkan buku. Dan harga satu buku tidak lebih besar nilainya ketimbang dengan sesuatu yang akan kita dapatkan di dalamnya.

Saya membayangkan, suatu nanti, Catatan Kaki akan bersaing dengan perannya sebagai komunitas perpustakaan jalanan dan toko buku online dalam dunia usaha melumpuhkan kebodohan.


Perempuan yang Sedang dalam Pelukan (Keraguan)

Kau menulis sebuah cerita sedih dan membagikannya ke lini masa dengan harap orang-orang ikut merayakan apa yang sedang kau rayakan. Tapi ...