Selasa, 28 Februari 2017

Khayalan, Kartini, dan Jangan Lupa Berdoa Sebelum Tidur






Setelah kehilangan kunci motor dua kali berturut-turut, akhirnya saya sadar, ternyata saya terlalu sering mengkhayal. Mungkin ini tidak ada kaitannya dengan kunci motor saya yang hilang. Atau mungkin ada. Saya tidak tahu. Tapi mau bagaimana pun, dalam paragraf ini, saya hanya ingin menyampaikan kalau saya adalah pengkhayal kelas kakap.


Ini adalah sebuah pengakuan yang tentu biasa saja. Saya tidak lantas merasa hebat karena telah menjadi pengkhayal ‘kelas kakap’. Pertama karena itu datang dari pengakuan saya sendiri. Kedua, saya hanya sedang mengkhayal, bahkan untuk mendapatkan pengakuan kelas kakap itu. Dan ketiga, sejago apapun dan bagaimana pun, mengkhayal hanyalah mengkhayal. Tidak mungkin, karena hanya mengkhayal, saya bisa mengubah negara ini menjadi suatu hidangan makan malam yang dipersembahkan oleh seorang perempuan cantik kepada saya. Nah kan, saya mulai mengkhayal lagi!


Saya bertanya kepada teman-teman, apakah tulisan ini layak teman-teman baca? Saya tidak tahu apa pengaruh besar tulisan ini untuk teman-teman. Apakah setelah membaca ini teman-teman akan berubah menjadi ranger Merah atau menjadi pahlawan bertopeng yang sekarang sudah jarang sekali kita dengar nama kedua pahlawan itu? Bahkan untuk menyimpannya satu folder dengan tulisan-tulisan saya yang lain, saya merasa harus berpikir lebih dari dua kali.


Saya bertanya kembali, apakah mengkhayal sama dengan mimpi? Bagi saya, kita berdua sama-sama tidak akan pernah bisa menjawabnya sebelum kita melakukan semacam penelitian dan wawancara kepada kedua makhluk itu. Apakah khayal mau disamakan dengan mimpi? Atau akankah mimpi itu rela disamakan dengan khayal? Loh, kenapa kamu mengernyitkan dahimu? Selama kamu tidak mengetahui jenis kelamin kedua makhluk itu, maka kamu jangan pernah menyatakan kalau khayal dan mimpi adalah jenis makhluk yang sama atau sebaliknya.


Saya tidak tahu apakah sepasang kekasih adalah dua orang yang saling mencintai atau tidak. Saya tidak pernah membayangkan hal itu benar-benar terjadi. Mungkin saja sepasang kekasih adalah dua orang yang tidak pernah benar-benar saling mencintai. Loh, kenapa kamu menjadi heran? Keherananmu justru membuat saya menjadi heran. Lalu apa sebenarnya maksudmu mengutip kata-kata Kartini Saat suatu hubungan berakhir, bukan berarti dua orang berhenti saling mencintai. Mereka hanya berhenti saling menyakiti? Atau mungkinkah kala itu Kartini sedang mengkhayal?


Baik, kalau begitu, mari kita mengkhayalkan Kartini sedang mengkhayal. Suatu ketika, Kartini yang adalah seorang perempuan sedang jatuh cinta kepada seorang patih yang diangkat menjadi Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kartini mencintai lelaki bangsawan itu sejak dalam pikiran dan apa adanya. Sehingga muncul dalam benaknya, apapun yang terjadi, ia akan menjadi orang pertama yang berada dekat dengan Raden Mas Adipati.


Satu masa Kartini menyadari, untuk memikat hati lelaki, perempuan hanya harus bisa memasak dan melayani lapar para lelaki yang ganas. Berangkat dari hal itulah Kartini mulai belajar memasak. Ia belajar masak pada seorang ibu bernama Ngasirah hingga menjadi seorang yang pandai. Tentu dalam hal memasak. Selain makanan Jawa Tengah, makanan kegemaran Kartini umumnya banyak juga terpengaruh oleh gaya kuliner Cina, Belanda dan Arab. Dan karena letak Jepara di pinggir pantai, maka sudah barang tentu hasil laut banyak digunakan dalam masakannya itu.


Kartini semakin tumbuh dewasa. Ia berpikir sudah saatnya untuk mengatakan cintanya pada lelaki bangsawan itu. Sebelumnya, karena hal entah apa, mendadak Kartini ingin tahu lebih jauh lagi siapa sebenarnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, lelaki yang ia cintainya itu. Mungkin karena Kartini berpikir sebelum memutuskan mencintai seorang lelaki, alangkah baiknya ia mengenalnya lebih jauh lagi. Sehingga tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi saat ketika sudah memutuskan untuk menjatuhkan cintanya.


Usut punya usut, setelah beberapa kali Kartini mengetahui keberadaan lelaki yang ia cintai berada di rumahnya, akhirnya ia tahu, ternyata lelaki itu, atau Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah suami dari ibunya. Yang sudah barang tentu, lelaki itu adalah ayahnya sendiri. Meski demikian, Kartini tidak kecewa dan tetap bersikap seperti biasanya. Sebab, cintanya tetap ada untuk Raden Mas Adipati. Cinta atas anak kepada ayahnya. Lalu keluarlah kata-kata yang sering kamu kutip itu dari mulut bersih Kartini.


Teman-teman, mengkhayal rupanya adalah sesuatu yang menyenangkan karena tidak menawarkan hal-hal buruk seperti mimpi. Saya tidak percaya kalau di antara kamu pernah mengkhayalkan sesuatu yang buruk terjadi. Tidak mungkin kamu berkhayal ingin bertemu hantu di sebuah tempat dan dikejar-kejar. Tapi saya percaya, suatu ketika kamu hendak tidur, kamu lupa berdoa dan hal semacam itu terjadi dalam mimpi.


Makanya kalau mau tidur, jangan lupa cuci-tangan-cuci-kaki. Lalu berdoa. Semoga kamu berhenti mengkhayal dan sesuatu yang baik terjadi tidak hanya dalam mimpi.

Senin, 27 Februari 2017

Cinta Adalah Sebuah Perayaan






Aku berjanji pada diriku sendiri, mulai malam ini, aku akan memadamkan lampu kamarku dan memejamkan mata setelah jam menunjukkan angka 12. Aku sebentar membuka media sosial dan membaca catatanku. Kemudian aku mengingat sesuatu entah apa, sehingga alih-alih tidur, aku malah membuka laptop dan menulis. Belum tahu apa yang ingin kutulis. Namun inilah yang terjadi, ternyata selama ini aku menulis sesuatu yang kupikirkan. Bukan macam Haruki Murakami yang memikirkan sesuatu sambil menulis, katanya dalam buku What I Talk About When I Talk About Running.


Tapi walau bagaimana pun, aku percaya kalau sesuatu yang kulakukan pasti memiliki sebab. Seperti yang kulakukan sekarang ini, mengakibatkanku mengingkari janji untuk tidur tepat pada tengah malam. Mungkin juga dengan engkau. Aku hanya perlu mencari tahu apa penyebabnya. Setelah itu mungkin aku akan mengetahui apa yang akan kutulis.


Aku membuka dan kembali membaca catatanku 13 Februari lalu. Aku berbicara tentang harapan. Aku mencintai seseorang yang cintanya telah dimiliki orang lain dan berharap aku bisa membuat hubungan mereka selesai. Dengan cara apapun. Aku tidak tahu, dalam keadaan semacam ini, cinta bisa berubah laiknya politik. Aku akan memperjuangkan agar cintaku bisa berlabuh di dada seseorang yang kucintai, tentu meskipun harus dengan membunuh semua orang yang berusaha menghalanginya.


Aku tidak ingin terlalu jauh menyamakan antara cinta dan politik. Cinta tidak seharusnya membuat sebagian orang terluka hanya karena berbeda dengan sebagian lainnya. Sebaliknya, cinta membuat perbedaan menjadi hal-hal damai yang sulit sekali atau mungkin tidak akan pernah kutemukan dalam urusan politik. Maka dari itu pula, aku tidak pernah percaya jika ada di antara orang-orang mengatakan cinta hanyalah sebuih ombak menabrak kapal dan membuat karam.


Aku mencintainya. Aku juga tahu kalau cintanya telah dimiliki orang lain. Aku tidak punya banyak alasan untuk menyadari itu. Tapi aku memiliki ribuan alasan untuk tidak menyadari hal itu. Cinta membuat hal-hal tidak mungkin menjadi sesuatu paling mungkin. Apakah kau pernah berpikir akan kalah untuk memenangkan cinta seseorang? Tidak akan pernah. Bahkan dalam suatu kisah menyedihkan yang terjadi di suatu kota, seorang lelaki rela tidak menikah selama bukan dengan orang yang ia cintai, yang tentu juga mencintainya. Tentu kau akan tahu siapa dia jika pernah menonton kisah teater boneka Pappermon Puppet Theatre yang berjudul Setjangkir Kopi dari Plaja.


Sampai di sini, aku tidak tahu harus melanjutkan ceritanya bagaimana. Aku mengingat kata-kata Haruki Murakami lagi--Minggu ini aku memang sedang melahap tulisannya--yang katanya, syarat menulis sebuah cerita atau novel hanya memiliki tiga syarat dan harus dimiliki oleh semua orang yang ingin menulis. Pertama adalah bakat. Selama terlahir menjadi manusia, aku tidak pernah tahu apa dan di mana sebenarnya bakatku. Bahkan ketika ditanya oleh salah seorang sahabatku ketika dalam sebuah persoalan sebelum membuat sebuah forum diskusi sebagai kelas kuliah alternatif mengenai apa yang kuinginkan, aku tidak bisa menjawab pasti. Aku tidak tahu siapa diriku. Maka boleh dikatakan, aku sama sekali tidak berbakat dalam menulis.


Kedua adalah fokus. Lagi-lagi, aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa fokus. Aku tidak mengerti apa itu fokus. Aku tidak memahami maksudnya. Bahkan sekalipun secara harfiah. Dan ketiga adalah daya tahan. Aku tahu apa yang Haruki maksud dengan daya tahan. Dalam membuat sebuah cerita atau novel, orang-orang yang akan menulisnya, perlu memiliki daya tahan atau kesabaran karena hanya akan menjelaskan satu masalah dengan sangat panjang. Tentu dengan duduk dan diam menghadap layar komputer selama berjam-jam. Dan itu menjadi masalah besar dalam diriku. Aku hanya memahami satu dari banyak sifat dalam diriku, yaitu tidak memiliki daya tahan atau kesabaran yang cukup panjang. Aku membayangkan betapa bosannya menjelaskan satu masalah sampai ratusan halaman. Tapi meskipun demikian, bukan berarti aku tidak akan pernah bisa menulis. Sebuah kesimpulan yang sangat konyol. Sebab bukankah semua itu bisa dilatih? Mungkin kecuali bakat. Tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar. Yang paling penting dari menulis adalah menulis itu sendiri. Mungkin juga di antara penulis-penulis yang kuketahui, juga dengan engkau, ternyata selama ini mereka tidak pernah benar-benar memiliki bakat menulis.


*

Tapi aku mencintainya. Tapi di sisi lain juga, aku harus rela menerima kenyataan pahit itu. Kenyataan yang menyatakan kalau dia sudah memiliki seorang lelaki, kekasihnya. Aku tidak tahu harus bahagia karena tetap bisa mencintainya atau terluka karena tidak bisa memilikinya. Aku bahagia jika kebahagiaan selalu bersama-sama dengannya. Menjadi baju-baju hangat saat musim hujan dan menjadi angin segar di musim sebaliknya. Meski tentu, dengan sangat sadar, kebahagiaannya lahir dari seorang lelaki lain.


Aku harus tahu akan bersikap apa. Cinta adalah jalan yang panjang. Dan aku berada dalam sebuah kendaraan. Hidup selalu menawarkan pilihan bahkan saat manusia memutuskan untuk tidak memilih. Tetap melanjutkan perjalanan atau berhenti, adalah pilihanku saat ini. Tetapi tidak mungkin jika Tuhan hanya menawarkan dua pilihan. Aku percaya kalau ada pilihan lain selain itu dan mungkin aku berada di sana. Berada di pilihan yang belum kuketahui apa dan bagaimana. Sehingga, sampai sejauh ini, aku masih berada dalam kendaraan itu dan tidak berhenti untuk turun.


Seperti tidak mengizinkanku untuk berhenti dan turun, jalan-jalan itu memberikan pemandangan-pemandangan indah yang mungkin akan jauh lebih indah lagi jika aku tetap melanjutkan perjalananku. Seperti aku yakin, kalau di depan sana, entah di mana aku tidak pernah tahu, ada keindahan yang tersembunyi dan belum pernah orang-orang kunjungi. Entah itu dalam bentuk apa, mungkin sungai yang bersih. Atau mungkin juga seorang perempuan.


Dan pada akhirnya, aku tetap merayakan kebahagiaanmu. Luka-luka yang kurasakan kalah jauh dari cintaku, yang jatuh padamu.

Rabu, 22 Februari 2017

DPR, Menulis dan Kamar Mandi




Nongkrong di bawah pohon rindang (DPR) membuat saya senang sekaligus menyesal setiap kali mendapati mahasiswi mahasiswi cantik yang melewati kami--saya dan teman-teman. Senang karena saya merasa ada semacam pembaharuan yang lebih segar untuk mata saya. Pasalnya ruang lingkup saya di kampus saat ini hanya selingkaran jurusan. Jadi sudah sangat biasa sekali saya bertemu dengan orang yang itu-itu saja.
Kemudian menyesal karena saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan ketika mahasiswi mahasiswi itu lewat. Apakah saya hanya akan membiarkannya lewat dan setelah itu selesai atau saya mengejarnya sampai saya tahu siapa nama dan berapa nomor hp dan pin bbnya. Dan sejauh ini saya hanya bisa melihat mereka dalam waktu yang sangat singkat tanpa mendapatkan apapun.


O ya, sekadar informasi saja, akhirnya saya bisa menuliskan peristiwa sore tadi ini ketika berada di kamar mandi. Sebelumnya saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menulis peristiwa ini ketika berada di dalam kamar kos saya. Namun ternyata gagal dan selalu tidak jadi. Jangan tanya kenapa, karena saya tidak tahu harus menjawabnya bagaimana.


Saya tidak tahu kenapa kamar mandi selalu berhasil membuat saya menyelesaikan tulisan-tulisan saya yang mungkin jauh dari kata sempurna dan tidak memiliki esensi apa-apa. Saya pernah membuat tulisan tentang kamar mandi yang penuh 'magic' itu. Saya juga sudah mencoba mengirim tulisan itu ke blog yang dikelola oleh organisasi ekstra tempat saya mencari pengalaman untuk diterbitkan dan dibaca sahabat-sahabat saya. Namun tidak tahu kenapa, sampai detik ini, beberapa kali setelah saya mengecek blognya, saya tidak pernah mendapati tulisan saya itu. Tapi saya tidak boleh berburuk sangka. Mungkin blog yang mereka kelola mempunyai visi dan misi yang tidak saya ketahui apa.


O ya, satu lagi, saya minta doanya kepada seluruh pembaca tulisan atau status ini. Pertama, agar saya bisa terus konsisten dalam menulis (dan tentu membaca). Sebab nampaknya menulis bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Itu terbukti ketika saya bisa menyelesaikan tulisan ini hanya ketika sedang berada di kamar mandi.


Kedua, cinta saya sedang jatuh pada orang yang salah. Saya berharap agar kesalahan saya itu tidak membuat saya berhenti menebar cinta kepada setiap orang, mungkin khususnya untuk perempuan. Karena saya yakin tidak ada cinta yang salah. Bagi saya, kesalahan itu hanya ada ketika saya tidak bisa menerima kenyataan kalau orang yang saya cintai tidak pernah mencintai saya.


Dan ketiga, doakan saya agar tetap bisa berbahagia selama-lamanya. Juga dengan Anda. Saya doakan agar kebahagiaan selalu menyelimuti perjalanan dan hidup Anda.

Perempuan yang Sedang dalam Pelukan (Keraguan)

Kau menulis sebuah cerita sedih dan membagikannya ke lini masa dengan harap orang-orang ikut merayakan apa yang sedang kau rayakan. Tapi ...