Senin, 27 Februari 2017

Cinta Adalah Sebuah Perayaan






Aku berjanji pada diriku sendiri, mulai malam ini, aku akan memadamkan lampu kamarku dan memejamkan mata setelah jam menunjukkan angka 12. Aku sebentar membuka media sosial dan membaca catatanku. Kemudian aku mengingat sesuatu entah apa, sehingga alih-alih tidur, aku malah membuka laptop dan menulis. Belum tahu apa yang ingin kutulis. Namun inilah yang terjadi, ternyata selama ini aku menulis sesuatu yang kupikirkan. Bukan macam Haruki Murakami yang memikirkan sesuatu sambil menulis, katanya dalam buku What I Talk About When I Talk About Running.


Tapi walau bagaimana pun, aku percaya kalau sesuatu yang kulakukan pasti memiliki sebab. Seperti yang kulakukan sekarang ini, mengakibatkanku mengingkari janji untuk tidur tepat pada tengah malam. Mungkin juga dengan engkau. Aku hanya perlu mencari tahu apa penyebabnya. Setelah itu mungkin aku akan mengetahui apa yang akan kutulis.


Aku membuka dan kembali membaca catatanku 13 Februari lalu. Aku berbicara tentang harapan. Aku mencintai seseorang yang cintanya telah dimiliki orang lain dan berharap aku bisa membuat hubungan mereka selesai. Dengan cara apapun. Aku tidak tahu, dalam keadaan semacam ini, cinta bisa berubah laiknya politik. Aku akan memperjuangkan agar cintaku bisa berlabuh di dada seseorang yang kucintai, tentu meskipun harus dengan membunuh semua orang yang berusaha menghalanginya.


Aku tidak ingin terlalu jauh menyamakan antara cinta dan politik. Cinta tidak seharusnya membuat sebagian orang terluka hanya karena berbeda dengan sebagian lainnya. Sebaliknya, cinta membuat perbedaan menjadi hal-hal damai yang sulit sekali atau mungkin tidak akan pernah kutemukan dalam urusan politik. Maka dari itu pula, aku tidak pernah percaya jika ada di antara orang-orang mengatakan cinta hanyalah sebuih ombak menabrak kapal dan membuat karam.


Aku mencintainya. Aku juga tahu kalau cintanya telah dimiliki orang lain. Aku tidak punya banyak alasan untuk menyadari itu. Tapi aku memiliki ribuan alasan untuk tidak menyadari hal itu. Cinta membuat hal-hal tidak mungkin menjadi sesuatu paling mungkin. Apakah kau pernah berpikir akan kalah untuk memenangkan cinta seseorang? Tidak akan pernah. Bahkan dalam suatu kisah menyedihkan yang terjadi di suatu kota, seorang lelaki rela tidak menikah selama bukan dengan orang yang ia cintai, yang tentu juga mencintainya. Tentu kau akan tahu siapa dia jika pernah menonton kisah teater boneka Pappermon Puppet Theatre yang berjudul Setjangkir Kopi dari Plaja.


Sampai di sini, aku tidak tahu harus melanjutkan ceritanya bagaimana. Aku mengingat kata-kata Haruki Murakami lagi--Minggu ini aku memang sedang melahap tulisannya--yang katanya, syarat menulis sebuah cerita atau novel hanya memiliki tiga syarat dan harus dimiliki oleh semua orang yang ingin menulis. Pertama adalah bakat. Selama terlahir menjadi manusia, aku tidak pernah tahu apa dan di mana sebenarnya bakatku. Bahkan ketika ditanya oleh salah seorang sahabatku ketika dalam sebuah persoalan sebelum membuat sebuah forum diskusi sebagai kelas kuliah alternatif mengenai apa yang kuinginkan, aku tidak bisa menjawab pasti. Aku tidak tahu siapa diriku. Maka boleh dikatakan, aku sama sekali tidak berbakat dalam menulis.


Kedua adalah fokus. Lagi-lagi, aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa fokus. Aku tidak mengerti apa itu fokus. Aku tidak memahami maksudnya. Bahkan sekalipun secara harfiah. Dan ketiga adalah daya tahan. Aku tahu apa yang Haruki maksud dengan daya tahan. Dalam membuat sebuah cerita atau novel, orang-orang yang akan menulisnya, perlu memiliki daya tahan atau kesabaran karena hanya akan menjelaskan satu masalah dengan sangat panjang. Tentu dengan duduk dan diam menghadap layar komputer selama berjam-jam. Dan itu menjadi masalah besar dalam diriku. Aku hanya memahami satu dari banyak sifat dalam diriku, yaitu tidak memiliki daya tahan atau kesabaran yang cukup panjang. Aku membayangkan betapa bosannya menjelaskan satu masalah sampai ratusan halaman. Tapi meskipun demikian, bukan berarti aku tidak akan pernah bisa menulis. Sebuah kesimpulan yang sangat konyol. Sebab bukankah semua itu bisa dilatih? Mungkin kecuali bakat. Tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar. Yang paling penting dari menulis adalah menulis itu sendiri. Mungkin juga di antara penulis-penulis yang kuketahui, juga dengan engkau, ternyata selama ini mereka tidak pernah benar-benar memiliki bakat menulis.


*

Tapi aku mencintainya. Tapi di sisi lain juga, aku harus rela menerima kenyataan pahit itu. Kenyataan yang menyatakan kalau dia sudah memiliki seorang lelaki, kekasihnya. Aku tidak tahu harus bahagia karena tetap bisa mencintainya atau terluka karena tidak bisa memilikinya. Aku bahagia jika kebahagiaan selalu bersama-sama dengannya. Menjadi baju-baju hangat saat musim hujan dan menjadi angin segar di musim sebaliknya. Meski tentu, dengan sangat sadar, kebahagiaannya lahir dari seorang lelaki lain.


Aku harus tahu akan bersikap apa. Cinta adalah jalan yang panjang. Dan aku berada dalam sebuah kendaraan. Hidup selalu menawarkan pilihan bahkan saat manusia memutuskan untuk tidak memilih. Tetap melanjutkan perjalanan atau berhenti, adalah pilihanku saat ini. Tetapi tidak mungkin jika Tuhan hanya menawarkan dua pilihan. Aku percaya kalau ada pilihan lain selain itu dan mungkin aku berada di sana. Berada di pilihan yang belum kuketahui apa dan bagaimana. Sehingga, sampai sejauh ini, aku masih berada dalam kendaraan itu dan tidak berhenti untuk turun.


Seperti tidak mengizinkanku untuk berhenti dan turun, jalan-jalan itu memberikan pemandangan-pemandangan indah yang mungkin akan jauh lebih indah lagi jika aku tetap melanjutkan perjalananku. Seperti aku yakin, kalau di depan sana, entah di mana aku tidak pernah tahu, ada keindahan yang tersembunyi dan belum pernah orang-orang kunjungi. Entah itu dalam bentuk apa, mungkin sungai yang bersih. Atau mungkin juga seorang perempuan.


Dan pada akhirnya, aku tetap merayakan kebahagiaanmu. Luka-luka yang kurasakan kalah jauh dari cintaku, yang jatuh padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan yang Sedang dalam Pelukan (Keraguan)

Kau menulis sebuah cerita sedih dan membagikannya ke lini masa dengan harap orang-orang ikut merayakan apa yang sedang kau rayakan. Tapi ...