Selasa, 07 Maret 2017

It's About Humanity






Saya ingin belajar menjadi manusia yang humanis. Tapi di sisi lain, saya tidak mengerti bagaimana cara konsep humanis itu berjalan baik dalam berkehidupan. Sebab pada praktiknya, saya tidak pernah benar-benar bisa menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya. Dalam menyikapi teman-teman saya yang datang dan bertamu ke kosan, misalnya, seringkali saya merasa tidak bisa menerima mereka dengan tenang. Dalam artian membuat mereka yang bertamu menjadi betah sehingga ingin berlama-lama diam di kosan saya.


Saya adalah beberapa dari spesies manusia yang tidak memiliki konsistensi dalam menjalani kehidupan yang berdikari. Kadang saya mencintai suasana yang sepi dan tenang, tapi di sisi lain kadang saya merasa membutuhkan seorang teman. Saya tidak bisa hidup macam Soe Hok Gie. Sebab kenyataannya saya memang bukan Soe Hok Gie. Kadang saya sangat mencintai keindahan suatu ruangan yang bersih, tapi di sisi lain, ketika saya berada di luar ruang lingkup yang bebas, seperti di alam, seringkali saya melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan kecintaan saya terhadap keindahan dengan membuang sampah tidak pada tempatnya, membiarkan botol air mineral bekas tergeletak di tanah atau merelakan puntung rokok liar di mana-mana sebelum hilang disapu angin.


Berangkat dari hal itu juga saya merasa tidak bisa memanusiakan manusia. Dalam hal urusan-urusan sepele yang bahkan melibatkan teman sendiri, saya tidak bisa menerimanya begitu saja. Padahal, jika dilihat dari pengertian siapa itu manusia, jelas saya sangat membutuhkan seorang teman. Seperti yang sama-sama kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain karena mereka meyakini ada hal-hal yang memang tidak bisa manusia kerjakan sendirian.


Tapi jauh lebih dari itu, persoalan sesungguhnya bukanlah ada pada diri saya yang tidak bisa menerima kedatangan teman-teman saya ke kosan. Ada hal yang jauh lebih penting dari itu. Dimulai dari sebuah pertanyaan, apa yang menyebabkan saya tidak bisa menerima teman-teman saya sendiri ketika mereka datang ke kosan dengan perasaan tenang? Adalah ketika mereka tidak bisa menerima saya sebagai tuan rumah yang menginginkan suatu rasa yang nyaman. Maksud saya adalah bagaimana caranya agar mereka bisa menghargai keinginan-keinginan saya untuk tetap menjaga kebersihan sehingga mereka tidak berlaku seenak jidat. Saya ingin merasakan symbiosis mutualisme itu benar-benar ada dalam praktik berkehidupan. Bukankah etika itu berlaku untuk dan kepada siapapun?


Artinya, saya akan benar-benar memperlakukan mereka dengan baik hanya dengan catatan jika mereka bisa memperlakukan saya dengan baik juga. Itulah yang dinamakan hukum kausalitas. Sebab-akibat berlaku dalam hal apa saja. Dan teman-teman saya adalah manusia terpelajar yang sudah berkali-kali mendengar kalimat itu. Saya yakin mereka adalah orang yang pandai. Yang jadi persolannya adalah apakah mereka sadar atas itu semua?


Saya tidak akan memberikan penilaian yang mutlak salah kepada teman saya. Saya harus bisa menilai diri saya sendiri. Apakah saya sudah berlaku seperti yang saya harapkan dari perlakuan teman-teman saya ketika saya bertandang ke kosan mereka? Atau apakah justru saya lebih urakan? Tapi jika pada kenyataannya saya sudah berusaha untuk berlaku adil dengan menghargai keinginan teman-teman saya, itu artinya memang ada sesuatu yang salah dalam diri mereka.

1 komentar:

  1. jadi inget si cocong, sasapu weh jeng sasapu hhaha. acungisme telah di terapkan indekos nya

    BalasHapus

Perempuan yang Sedang dalam Pelukan (Keraguan)

Kau menulis sebuah cerita sedih dan membagikannya ke lini masa dengan harap orang-orang ikut merayakan apa yang sedang kau rayakan. Tapi ...